Friday, September 4, 2009

Belajar dari WTC NY


BERUBAH - Pemandangan Kota New York tidak akan
pernah sama
seperti sebelumnya setelah runtuhnya
dua menara gedung
World Trade Center pada,
hari Selasa (11/9) lalu. Pemandangan
Kota New York
pasti akan berubah setelah ini.



TAHUN 1972, Minoru Yamasaki artis-arsitek perancang World Trade Center adalah salah satu figur terpenting dalam khasanah arsitektur Amerika. Sebagai seorang arsitek yang dianggap mewakili gerakan Neo-Modern, bersama dengan Philip Johson dan Edward Stone, Yamasaki sedang menanti selesainya pembangunan menara kembar tertinggi di dunia.

NAMUN pada tahun itu pula, Yamasaki harus menyaksikan penghancuran karya unggulannya, kompleks perumahan sosial Pruitt Igoe, St Louis, Amerika Serikat, yang dirancangbangun tahun 1952 - 1955 karena dianggap menjadi fasilitas hunian yang terlalu sarat masalah sosial. Penghancuran tersebut kemudian dianggap sebagai titik "habisnya" gerakan arsitektur Modern.

Pada saat itu, sedang terjadi semacam suasana "transisi", saat penting lahirnya gerakan Post Modernisme dalam arsitektur. Yamasaki, lewat Menara WTC, dianggap melahirkan ketertarikan untuk kembali menjadikan estetika sebagai pusat kegiatan berarsitektur bukan sekadar fungsi fisik-biologis.

Diktum terkenalnya "... the social function of the architect is to create a work of arts..." dapat diterima masyarakat arsitektur yang sebelumnya begitu anti pada hal-hal yang berbau "estetik", yang lekat dengan soal "keinginan" yang selalu dianggap bertolak belakang, berseberangan dengan isu kegunaan dan kebutuhan ("fungsi"). Sebelum hadirnya WTC, sebagian besar bangunan tinggi tampil dalam ujud kotak murni, bersalut dinding tirai kaca ringan-tipis yang disusun berdasarkan repetisi modul bahan industrial, terutama baja, kaca, dan aluminium. Bahan-bahan tersebut dibuat berdasarkan ukuran standar, yang diharapkan bisa dipakai di mana saja. Semua diperhitungkan dalam paradigma "cost-benefit". Segala tampilan yang tidak standar, yang hadir sebagai unsur estetika, dianggap mengada-ada, sebagai hal yang merusak kemurnian ide fungsionalisme.

Sosok WTC walaupun tampil sebagai sebuah ujud puristik, kotak-murni, ditampilkan dengan dekorasi garis-garis vertikal struktural di dinding luar, sebagai kelanjutan dari bentuk geometri-Gothik di beberapa lantai terbawah. Lengkung Gothik yang menajam di ujung atas, menjadi penunjang struktur kulit bangunan di atasnya. Suatu hal yang unik, mengingat gaya-gaya vertikal tidak disalurkan langsung secara tegak lurus lewat kolom yang menerus, tetapi dialihkan melalui lengkung tersebut.

Pilihan untuk memakai elemen dari masa lalu, juga merupakan terobosan penting bagi seorang modernis seperti Yamasaki.

AWALNYA, gedung ini dirancang untuk dikelilingi ruang-ruang publik terbuka seluas sekitar 12 hektar, berupa taman-taman dan plaza. Hal ini dikehendaki agar sosok bangunan tersebut dapat nyata terlihat jelas dari berbagai sisi. Keberadaan ruang publik juga menjadi penting, mengingat besarnya kapasitas tampung kedua menara ini. Dengan luas per lantai 3.600 m persegi, setinggi masing-masing 410 m persegi (total 110 lantai), WTC dapat menampung sekitar 40.000 orang. Begitu besarnya proyek ini, sehingga ada anggapan akhirnya ia memacu resesi ekonomi saat itu akibat habisnya sumber daya. Kehadirannya juga mengakibatkan terpenuhinya kebutuhan seluruh kota atas ruang sewa yang akhirnya menghentikan pembangunan gedung-gedung lainnya di New York.

Secara struktural, rancangan insinyur struktur Emery and Roth ini adalah salah satu karya pertama yang dirancang dengan sistem struktur envelope. Seluruh kekuatan gedung ditunjang deretan rapat tiang-tiang baja (vierendel trusses) pada permukaan kulit bangunan sebagai penyalur gaya-gaya vertikal ke Bumi, gaya berat dan beban yang ditanggungnya. Dari kulit bangunan ke "inti" dimana terdapat rumah lift, WC, saluran-saluran utilitas, terdapat jarak antara 11 - 18 meter, bentang yang sangat besar untuk sebuah gedung perkantoran. Secara awam dapat dibayangkan sebagai sebuah sangkar burung dengan sebuah kotak penopang di tengah-tengah. Struktur di bagian inti dibuat kaku, dengan dinding beton penuh untuk menyalurkan gaya-gaya vertikal dan juga gaya horisontal yang mendera gedung lewat tekanan angin dan gerak gempa. Secara bersama, permukaan struktural, dan kekokohan di bagian inti, membentuk sebuah kesatuan struktural yang tidak dapat dipisahkan. Sistem tersebut berhasil meniadakan kolom di antara kulit bangunan dengan bagian inti yang dikonstruksi sebagai "tulang punggung" bangunan. Tujuannya agar diperoleh ruang bebas tiang yang memungkinkan penataan secara lebih fleksibel, untuk dimanfaatkan penyewa yang beragam.

Seluruh luas permukaan (sekitar 200.000 meter persegi per bangunan) dirancang sebagai element struktural yang dilapisi aluminium dan kaca kedap cuaca. Pada saat tiupan angin maksimal, permukaan gedung dapat menahan kecepatan angin sampai 160 km/jam, dengan hanya bergerak sekitar 20 cm di bagian puncak dalam periode sepuluh menit. Ini prestasi besar bagi bangunan saat itu.

Secara mekanis dan elektrik, ketinggian setiap gedung dibagi ke dalam tiga bagian segmen pelayanan. Setiap bagian, dilayani oleh sistem tata udara, sistem kontrol, sistem penyeimbang tekanan yang cukup canggih. Di samping itu, bangunan ini juga dirancang menurut standar keamanan bangunan dan antisipasi evakuasi yang sangat tinggi, mengingat tingginya tuntutan New York terhadap gedung-gedungnya. New York bahkan dianggap sebagai salah satu kota dengan standar terbaik keamanan terhadap kebakaran, se-Amerika Serikat, bahkan se-dunia.

Lahan yang sangat mahal sepertinya membenarkan perubahan kepadatan yang terus berlangsung sampai hari ini, sampai terjadinya kebiadaban yang kita saksikan 11 September 2001. Dan sekali lagi kita saksikan bahwa kehadiran karya arsitektur sebagai simbol hal tertentu, selalu menjadi sasaran penghancuran secara simbolik pula. Jika diruntuhkannya perumahan Pruitt Igoe menjadi simbol runtuhnya dominasi Modernisme, sebuah aliran yang begitu berpengaruh dalam sejarah perkembangan arsitektur; pemusnahan WTC menjadi simbol kekejian, hancurnya kemanusiaan secara universal. Bedanya, kali ini dengan jumlah korban yang begitu mengerikan.

KEPADATAN sekitar akibat pembangunan yang terus dilakukan, membuat beberapa gedung sekitar juga hancur akibat getaran maupun akibat tertimpa runtuhan.

Ada beberapa hal menyangkut perencanaan kawasan padat bangunan tinggi yang harus direvisi sesudah kejadian ini. Keputusan sebuah kota untuk mengumpulkan bangunan tinggi pada suatu lokasi seharusnya berakibat pada keharusan menyediakan prasarana memadai.

Secara makro harus dilakukan revisi terhadap asumsi penentuan standar keamanan bangunan, standar fasilitas penyelamatan dan evakuasi, baik di dalam bangunan maupun di lingkungan sekitar. Bahkan jarak bebas terbang pun jangan-jangan harus ditinjau ulang.

Satu pelajaran harus kita ambil detik ini juga, untuk lebih memperhatikan, menyiapkan dan memelihara kelengkapan semacam. Terutama yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak, di tempat-tempat publik.

Harus kita akui sudah begitu lama hal tersebut diabaikan di negeri ini.

Sonny Sutanto
Arsitek, Dosen Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Kompas
Minggu, 16/09/01

No comments:

Post a Comment